Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 31 Desember 2009

TANAH ABANG*, SE-ABANG DARAH…


Jeritan itu merintih, melemah di antara puing-puing reruntuhan, darah itu mengalir segar hingga me-abang-kan Tanah Abang……..

Sungguh memilukan, sedikitnya 2 orang meninggal dan belasan luka-luka baik berat maupun sedang, akibat robohnya bangunan yang sedang dikerjakan di Kompleks Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat. Peristiwa nahas yang menimpa para pekerja bangunan tersebut meyisahkan pertanyaan besar. Tidak ada angin tidak ada hujan maupun badai bagaimana mungkin proyek umum sekelas kota Megapolitan bisa runtuh disaat sedang dikerjakan? Bagaimana perizinan bisa diberikan? Di mana faktor pengawasannya? Apa yang salah dengan kejadian tersebut?

Kita patut menggugat pertanggungjawabanya, untuk kejelasan faktor apa yang sebenarnya hingga menyebabkan kejadian ini terjadi. Kalau bukan faktor alam, besar kemungkinan ini adalah akibat human error , tapi bukankah sebelum pembangunan sudah ada survey lapangan, pengumpulan data, analisa lalu ke perancangan. Dalam proses tentunya sang perancang (entah sang arsitek atau sipil) tentunya memperhitungkan beban maupun moment yang ada pada bangunan. Serta saat pengerjaan pastinya pengawasan bisa mengevaluasi bukan?

Ternyata setelah diklarifikasi, beberap pekerja sebelumnya sudah melaporkan kepada mandor bahwa ada bagian bangunan yang retak-retak tapi diabaikan, bahkan saat dimintai gambar bestek (kerja) sang pemilik tidak bisa menunjukkan langsung.

So, siapa yang harus mempertanggungjawabkannya, apakah pemilik, pemborong, perencana, atau pengawas?

Ada beberap kemungkinan terburuk (maaf bukannya shuudzon) menurut saya yang bisa kita pelajari.

Pertama, sang pemilik ingin menghemat biaya pembangunan maka meminta pemborong untuk menurunkan kualitas bangunan yang masih bisa ditolerir, yang penting bisa berdiri dan digunakan.

Kedua, pemborong ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan me-markup RAB (Rancangan Anggaran Biaya) atau RAP (Rancangan Anggaran Pelaksanaan), tanpa sepengetahuan pemilik.

Ketiga, perencana salah dalam menganalisa gambar terkait perhitungan beban lateral, vertikal atau beban bangunan itu sendiri, kemudian sambungan antar kolom utama dan kolom pendukung, pasalnya ini merupakan proyek perkembangan, tentunya harus dikaitkan dengan bangunan yang sudah ada sebelumnya.

Keempat, pengawas kurang ketat dalam menjalankan tugasnya hingga dalam proses pengerjaan bisa salah pencampuran bahan, atau sambungannya, perizinan, dan sebagainya.

Terlepas dari itu semua mari kita melihat dari perspektif lain bagiamana bisa muncul dugaan diatas. Kondisi ekonomi yang sulit sering menjadi alasan utama (dikambing hitamkan) bila ada kasus pencurian, perampokan, penipuan, dan sebagianya, termasuk “lembar hitam” pada proyek-proyek pembangunan di Indonesia, bisa dilihat pada pembangunan jalan aspal misalnya, belum ada satu tahun sudah ada perbaikan dua kali, jalan aspal hancur. Maka peran pemerintah sangat besar disini sebagai pelindung dan pengayom rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan perut rakyat, tentunya setelah menuntut secara pribadi masing-masing orang kenapa tidak menggunkan cara-cara yang halal dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bukankah agama kita juga sangat tegas dalam peraturan ini? Apa kita tega memberi makan anak istri dengan sesuatu yang haram?

“setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya .”(HR Muslim)

Duit, ya lagi-lagi masalah duit. Orang bisa melakukan apa saja demi harta, bahkan anak, keluarga, kehormatanpun ditaruhkan demi itu semua, seolah bumi ini terlalu sempit unutk menjemput rezeki ini, bukankah kita punya Tuhan? Bukankan Tuhan kita itu Maha kaya? Kenapa manusia lebih suka dengan jalan pintas, tanpa menghiraukan akibatnya?

Bumi ini sudah terlalu renta untuk didzolimi

Negeri ini terlalu suci untuk dinodai

Bangsa ini terlalu mulia untuk digrogoti

Hanya demi kepentingan sesaat, demi hal fana yang pastinya akan musnah… musnah bersama raga saat belatung dan cacing melahapnya dalam gelap gulita liang lahat

Dan harta itu menimbun, tanpa bisa membantu apa-apa… malah menimpa bila didapat dan dibelanjakan dengan cara yang naïf bedebah….

Oleh karen itu, hal ini sangat mengingatkan saya pribadi dalam berprilaku, jika suatu saat terjun ke lapangan, terlebih kita adalah sang arsitek, ya seorang perancang, seorang pemborong, pengawas sekaligus pelaksana pembangunan, untuk menjunjung tinggi idealisme arsitek dan agama, untuk senantiasa shiddiq di jalanNya. Karena Allah maha kaya, masih banyak cara yang halal untuk mencari nafkah.

Yang terpenting dari semua itu bahwa kita adalah sang Arsitek Peradaban,

Membangun bangsa ini dari keterpurukan jiwa rakusisme, menyelamtkan generasi dari korup negeri, menssejahterakan rakyat dalam lumbung padi. Mendekap ridho illahi……

Waallahu’alam bishowab…

Malang, 24 Desember 2009

Catatan:

*Abang (bahasa Jawa) = merah

Tidak ada komentar: